Sejarah IMM
Jangan Lupakan Sejarah
Jangan Lupakan Sejarah
MELACAK JEJAK SEJARAH
KELAHIRAN IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah dilahirkan.
Di samping itu, kelahiran IMM juga merupakan respond atas persoalan-persoalan keummatan dalam sejarah bangsa ini pada awal kelahiran IMM, sehingga kehadiran IMM sebenarnya merupakan sebuah keharusan sejarah. Faktor-faktor problematis dalam persoalan keummatan itu antara lainialah sebagai berikut (Farid Fathoni, 1990: 102):
Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba tunggal,serta adanya ancaman komunisme di Indonesia.
Terpecah-belahnya umat Islam datam bentuksaling curiga dan fitnah, serta kehidupan politikummat Islam yang semakin buruk.
Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada kepentingan politik praktis.
Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin tumbuhnya materialisme-individualisme.
Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya suasana kehidupan kampus yang sekuler
Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid’ah, khurafat, bahkan kesyi rikan, serta semakin meningkatnya misionaris- Kristenisasi
Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Dengan latar belakang tersebut, sesungguhnya semangat untuk mewadahi dan membina mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah telah dimulai sejak lama. Semangat tersebut sebenarnya telah tumbuh dengan adanya keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah pada Kongres Seperempat Abad Muhammadiyah di Betawi Jakarta pada tahun 1936. Pada saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah diketuai oleh KH. Hisyam (periode 1934-1937). Keinginan tersebut sangat logis dan realistis, karena keluarga besar Muhammadiyah semakin banyak dengan putera-puterinya yang sedang dalam penyelesaian pendidikan menengahnya. Di samping itu,Muhammadiyah juga sudah banyak memiliki amal usaba pendidikan tingkat menengah.
Gagasan pembinaan kader di lingkungan mahasiswa datam bentuk penghimpunan dan pembinaan langsung adatah selaras dengan kehendak pendiri Muhammadiyah, KHA. Dahlan, yang berpesan babwa “dari kallan nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah” (Suara Muhammadiyah, nomor 6 tahun ke-68, Maret || 1988, halaman 19). Dengan demikian, sejak awal Muhammadiyah sudah memikirkan bahwa kader-kader muda yang profesional harus memiliki dasar keislaman yang tangguh dengan kembali ke Muhammadiyah.
Namun demikian, gagasan untuk menghimpun dan membina mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah cenderung terabaikan, tantaran Muhammadiyah sendiri belum memiliki perguruan tinggi. Belum mendesaknya pembentukan wadah kader di lingkungan mahasiswa Muhammadiyah saat itu juga karena saat itu jumlah mahasiswa yang ada di lingkungan Muhammadiyah betum terialu banyak. Dengan demikian, pembinaan kadermahasiswa Muhammadiyah dilakukan melalui wadah Pemuda Muhammadiyah (1932) untuk mahasiswa putera dan metalui Nasyiatul Aisyiyah (1931) untuk mahasiswa puteri.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 pada tahun 1950 di Yogyakarta, dihembuskan kembali keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Muhammadiyah. Namun karena berbagai macam hat, keinginan tersebut belum bisa diwujudkan,sehingga gagasan untuk dapat secara langsung membina dan menghimpun para mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah tidak berhasil Dengan demikian, keinginan untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga masih jauh dari kenyataan.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, gagasan pendirian perguruan tinggi Muhammadiyah baru bisa direalisasikan. Namun gagasan untuk mewadahi mahasiswa Muhammadiyah dalam satu himpunan belum bias diwujudkan. Untuk mewadahi pembinaan terhadap mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang dalam menjalankan aktivitasnya bekerja sama dengan Pemuda Muhammadiyah.
Gagasan untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah dalam satu himpunan setidaknya telah menjadi polemik di lingkungan Muhammadiyah sejak lama. Perdebatan seputar kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berlangsung cukup sengit, baik di kalangan Muhammadiyah sendiri maupun di kalangan gerakan mahasiswa yang lain. Setidaknya, kelahiran IMM sebagai wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah mendapatkan resistensi, baik dari kalangan Muhammadiyah sendiri maupun dari kalangan gerakan mahasiswa yang lain, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di kalangan Muhammadiyah sendiri pada awal munculnya gagasan pendirian IMM terdapat anggapan bahwa IMM betum dibutuhkan kehadirannya dalam Muhammadiyah, karena Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atul Aisyiyah masih dianggap cukup mampu untuk mewadahi mahasiswa dari kalangan Muhammadiyah.
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat ditihat ketika Lafran Pane mau menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir (tokob Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi’atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa dititipkan metalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi’atulAisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis (dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada saat itu lebih menganak- emaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan, yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM. Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi’atul Aisyiyah, serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun 1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muhammadiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua, Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya sebagai gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya, 1959, dikukuhkan dengan melepaskan diri dari komitmen politik dengan Masyumi, yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi Muhammadiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang tentang “….menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu mengembangkan amanah.”
Baru pada tahun 1961 (menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta) iselenggarakan Kongres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta (saat itu, Muhammadiyah sudah mempunyai perguruan tinggi Muhammadiyah sebelas buah yang tersebar di berbagai kota). Pada saat itulah, gagasan untuk mendirikan IMM digulirkan sekuat-kuatnya. Keinginan tersebut ternyata tidak hanya dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah, tetapi juga dari kalangan mahasiswa di berbagai universitas non-Muhammadiyah. Keinginan kuat tersebut tercermin dari tindakan para tokoh Pemuda Muhammadiyah untuk melepaskan Departemen Kemahasiswaan di lingkungan Pemuda Muhammadiyah untuk berdiri sendiri. Oleh karena itu, lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinasikan oleh Margono (UGM, Ir.), Sudibyo Markus (UGM, dr.), Rosyad Saleh (IAIN, Drs.), sedangkan ide pembentukannya dari Djazman al-Kindi (UGM, Drs.).
Tahun 1963 dilakukan penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah secara resmi oleh Lembaga Dakwah Muhammadiyah dengan disponsori oleh Djasman al-Kindi yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, Lembaga Dakwah Muhammadiyah (yang banyak dimotori oleh para mahasiswa Yogyakarta) inilah yang menjadi embrio lahirnya IMM dengan terbentuknya IMM Lokal Yogyakarta.
Tiga butan setelah penjajagan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mere,smikan berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada tanggal 29 Syawal 1384 H. atau 14 Maret 1964 M. Penandatanganan Piagam Pendirian Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dilakukan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, yaitu KHA. Badawi. Resepsi peresmian IMM dilaksanakan di Gedung Dinoto Yogyakarta dengan penandatanganan ‘Enam Penegasan IMM’ oleh KHA. Badawi, yaitu:
Menegaskan bahwa IMM adalah gerakanmahasiswa Islam
Menegaskan bahwa Kepribadian Muhammadiyahadalah landasan perjuangan IMM
Menegaskan bahwa fungsi IMM adalah eksponen mahesiswa dalam Muhammadiyah
Menegaskan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan mengindahkan segala hukum, undang-undartg, peraturan,serta dasar dan falsafah negara
Menegaskan bahwa ilmu adalá amaliah danamal adalah ilmiah
Menegaskan bahwa amal WJA aMah lillahita’ala dan senantiasa diabdWan untuk kepentingan rakyat.
Tujuan akhir kehadiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk pertama kalinya ialah membentuk akademisi Islam datam rangka metaksanakan tujuan Muhammadiyah. Sedangkan aktifitas IMM pada awal kehadirannya yang paling menonjol ialah kegiatan keagamaan dan pengkaderan, sehingga seringkali IMM pada awal kelahirannya disebut sebagai Kelompok Pengajian Mahasiswa Yogya (Farid Fathoni, 1990: 102).
Adapun maksud didirikannya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah antara lain adatah sebagai berikut:
Turut memelihara martabat dan membelakejayaan bangsa
Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
Sebagai upaya menopang, melangsungkan, dan meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurnaamal usaha Muhammadiyah
Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, ummat, dan persyarikatan
Dengan berdirinya IMM lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan, Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas, maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Atas prakarsa Pimpinan IMM Yogyakarta, maka bersamaan dengan Musyawarah IMM se-Daerah Yogyakarta pada tanggal 11-13 Desember 1964 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pendahuluan IMM seluruh Indonesia yang dihadiri oleh hamper seluruh Pimpinan IMM Lokal dari berbagai kota. Musyawarah Nasional tersebut bertujuan untuk mempersiapkan kemungkinan diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah pada bulan April atau Mei 1965. Musyawarah Nasional Pendahuluan tersebut menyepakati penunjukan Pimpinan IMMYogyakarta sebagai Dewan Pimpinan Pusat Sementara IMM (dengan Djazman al-Kindi sebagai Ketua dan Rosyad Saleh sebagai Sekretaris) sampai diselenggarakannya Musyawarah Nasional Pertama di Solo.
Dalam Musyawarah Pendahuluan tersebut juga disahkan asas IMM yang tersusun dalam ‘Enam Penegasan IMM’, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IMM, Gerak Arah IMM, serta berbagai konsep lainnya, termasuk lambang IMM, rancangan kerja, bentuk kegiatan, dan lain-lain.
PRINSIP DASAR ORGANISASI
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah gerakan mahasiswa Islam yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan. Tujuan IMM adatah mengusahakan terbentuknyaakademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.
Dalam mencapai tujuan tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah melakukan beberapa upaya strategis sebagai berikut :
Membina para anggota menjadi kader persyarikatan Muhammadiyah, kader umat, dan kader bangsa, yang senantiasa setia terhadap keyakinan dan cita-citanya.
Membina para anggotanya untuk selalu tertib dalam ibadah, tekun dalam studi, dan mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk melaksanakan ketaqwaannya dan pengab diannya kepada allah SWT.
Membantu para anggota khusus dan mahasiswa pada umumnya dalam menyelesaikan kepentingannya.
Mempergiat, mengefektifkan dan menggembirakan dakwah Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar kepada masyarakat khususnya masyarakat mahasiswa.
Segala usaha yang tidak menyalahi azas, gerakan dan tujuan organisasi dengan mengindahkan segala hukum yang berlaku dalam Republik Indonesia.
JARINGAN STRUKTURAL IMM
Susunan organisasi IMM dibuat secara berjenjang dari tingkat Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Komisariat. Dewan Pimpinan Pusat adatah tingkat pimpinan tertinggi di IMM yang menjangkau ruang lingkup nasional. Dewan Pimpinan Daerah adatah pimpinan organisasi yang menjangkau suatu kesatuan wilayah tertentu yang terdiri dari cabang-cabang IMM. Pimpinan Cabang adalah pimpinan organisasi yang menjangkau satu kesatuan komisariat IMM. Komisariat IMM adatah kesatuan anggota-anggota IMM dalam sebuah perguruan tinggi atau kelompok tertentu. Saat ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
PROGRAM KERJA
Secara umum program kerja IMM dilaksanakan untuk memantapkan eksistensi organisasi demi mencapai tujuannya, “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah” (AD IMM Pasal 6). Untuk menunjang pencapaian tujuan IMM tersebut, maka perencanaan dan pelaksanaan program kerja diorientasikan bagi terbentuknya profil kader IMM yang memiliki kompetensi dasar aqidah, kompetensi dasar intelektual, dan kompetensi dasar humanitas. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, maka program kerja IMM pada dasarnya tidak bisa lepas dari tiga bidang garapan tersebut. Perencanaan dan pelaksanaan program kerja tersebut memiliki stressing yang berbeda-beda (berurutan dan saling menunjang) pada masing-masing level kepemimpinan.
Di tingkat Komisariat: kemahasiswaan, perkaderan,keorganisasian,kemasyarakatan.
Di tingkat Cabang: Perkaderan, kemahasiswaan, keorganisasian, kemasyarakatan.
Di tingkat Daerah: keorganisasian, kemasyarakatan, perkaderan, kemahasiswaan.
Di tingkat Pusat: Kemasyarakatan, keorganisasian, perkaderan, kemahasiswaan.
Berkaitan dengan program kerja jangka panjang, maka sasaran utamanya diarahkan pada upaya perumusan visi dan peran sosial politik IMM memasuki abad XXI. Hal ini tidak lepas dari ikhtiar untuk memantapkan eksistensi IMM demi tercapainya tujuan organisasi (lihat AD IMM Pasal 6). Sasaran utama dan program jangka panjang ini merujuk pada dan melanjutkan prioritas program yang telah diputuskan pada Muktamar Vll IMM di Purwokerto (1992). Program dimaksud menetapkan strategi pembinaan dan pengembangan organisasi secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan selama Lima periode Muktamar IMM.
Periode Muktamar IX diarahkan pada pemantapan konsolidasi internal (organisasi, pimpinan, dan program) dengan meningkatkan upaya pembangunan kualitas institusional dan pemantapan mekanisme kaderisasi dalam menghadapi perkembangan situasi sosial politik nasional yang semakin dinamis. Periode Muktamar X diarahkan pada penguatan orientasi kekaderan dengan meningkatkan mutu sumber daya kader sebagai penopang utama kekuatan organisasi datam transformasi sosial masyarakat. Periode Muktamar XI diarahkan pada penguatan peran institusi organisasi baik secara internal (pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan pembaruan dan amal usaha Muhammadiyah) maupun eksternal (kader umat dan kader bangsa).
Periode Muktamar XII diarahkan pada pemantapan peran IMM dalam wilayah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memasuki era globalisasi yang lebih luas. Periode Muktamar XIll diarahkan pada pemberdayaan institusi organisasi serta pemantapan peranan IMM dalam kehidupan sosial politik bangsa.
Kemudian pelaksanaan program jangka panjang itu memiliki sasaran khusus pada masing-masing bidangnya. Bidang Organisasi diarahkan pada terciptanya struktur dan fungsi organisasi serta mekanisme kepemimpinan yang mantap dan mendukung gerak IMM dalam mencapai tujuannya. Program konsolidasi gerakan IMM juga diarahkan bagi terciptanya kekuatan gerak IMM baik ke datam maupun ke luar sebagai modal penggerak bagi pengembangan gerakan IMM.
Bidang Kaderisasi diarahkan pada penguatan tiga kompetensi dasar kader IMM (aqidah, intelektual, dan humanitas) yang secara dinamis mampu menempatkan diri sebagai agen pelaku perubahan sosial bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diarahkan pada pembangunan budaya iptek dan penguatan paradigma ilmu yang melandasi setiap agenda dan aksi gerakan IMMdalam menyikapi tantangan zaman.
Bidang Hikmah diarahkan pada penguatan peran sosial politik IMM di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam peran serta dan partisipasi sosial politik generasi muda (mahasiswa). Bidang Sosial Ekonomi diarahkan pada penumbuhkembangan budaya dan wawasan wiraswasta di lingkungan IMM, terutama dalam membangun dan memberdayakan potensi ekonomi kerakyatan. Bidang Immawati diarahkan pada upaya penguatan jati diri dan peran aktif sumber daya kader puteri IMM dalam transformasi social menuju masyarakat utama.
Sumber: melacak sejarah, https://immsurabaya.or.id/sejarah/
Yogyakarta (1964): tempat berdirinya IMM.
Surakarta (1965): tempat Muktamar (Munas) I IMM dan diputuskannya Deklarasi Kotabarat Enam Penegasan IMM, Lambang IMM, Bendera IMM, Mukaddimah AD/ART IMM, AD/ART IMM, Pakaian IMMawati (baju kerudung dengan warna kuning gading).
Surakarta (1966): tempat Tanwir (Konpernas) I IMM dan diputuskannya 15 Pernyataan IMM.
Garut (1967): tempat Tanwir (Konpernas) II IMM dan diputuskannya Deklarasi Garut.
Yogyakarta (1969): tempat Tanwir (Konpernas) III IMM dan diputuskannya sistemisasi serta pembakuan Sistem Perkaderan Ikatan (SPI).
Magelang (1970): tempat Tanwir (Konpernas) IV IMM dan diputuskannya Mars IMM, Hymne IMM, dan Identitas IMM.
Semarang (1975): tempat Muktamar IV IMM dan diputuskannya Deklarasi Baiturrahman.
Padang (1986): tempat Muktamar V IMM dan diputuskannya Pokok-pokok Pikiran IMM.
Surakarta (1986): tempat Seminar dan Lokakarya Nasional (Semiloknas) dan diputuskannya Profil Kader Ikatan.
Purwokerto (1992): tempat Muktamar VII IMM dan diputuskannya Nilai Dasar Ikatan.
Malang (2002): tempat Seminar dan Lokakarya Nasional (Semiloknas) dan diputuskannya Deklarasi Kota Malang: Manifesto Kader Progresif.
Jakarta (2004): diputuskannya Manifesto Politik 40 Tahun IMM.
Bandar Lampung (2008): tempat Muktamar XIII IMM dan diputuskannya Pokok-pokok Pemikiran IMM: Jelang Setengah Abad Memasuki Era Globalisasi.
Medan (2012): tempat Muktamar XV IMM dan diputuskannya Deklarasi Kota Medan.
Surakarta (2014): tempat Muktamar XVI IMM dan diputuskannya Deklarasi Setengah Abad IMM dan Penegasan Kembali Lambang Resmi IMM. (Surakarta sengaja dipilih sebagai Tuan Rumah Muktamar XVI IMM karena dengan maksud untuk menegaskan kembali Khittah awal IMM sebagaimana hasil-hasil Muktamar I IMM, sekaligus untuk memperingati Setengah Abad berdirinya IMM. Muktamar XVI IMM juga dimeriahkan dengan adanya Panggung Budaya Perkaderan IMM, dan Teater Kelahiran IMM di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta).
Deklarasi Garut
Menyadari perlunya meningkatkan mutu “Ikatan” sebagai aparat pembaharuan dan pengabdian, IMM menegaskan sekali lagi strategi dasarnya untuk pembinaan organisasi sebagai berikut:
KADERISASI
KRISTALISASI, dan
KONSOLIDASI
Membina setiap anggota IMM sebagai kader yang taqwa kepada Allah dan sanggup memadukan intelektualitas dengan ideologi, karena suksesnya perjuangan Umat Islam Indonesia banyak ditentukan oleh kesanggupan para inteligensinya untuk selalu berjuang dengan landasan ideologi Islam.
Membina setiap anggota IMM sebagai subyek dan aktivis Ikatan” yang setia sepenuhnya kepada ideologi dan loyal kepada organisasi. Pengalaman dan sejarah menunjukkan bahwa untuk mencapai sasaran perjuangan organisasi sebagai aparat untuk mencapai sasaran tersebut, harus didukung oleh anggota yang meyakini kebenaran ideologi dan mengamalkannya serta aktif menunjang setiap aktivitas gerakannya.
Terus menerus menyempurnakan dan menertibkan organisasi, sehingga sebagai aparat perjuangan mampu mengantarkan “Ikatan” dalam mencapai tujuan perjuangan.
Deklarasi Baiturrahman
Sejarah Perjalanan Ikatan dimulai dengan Dekalarasi Kota Barat, Solo, 5 Mei 1965 yang berisikan hasrat dan tekad kami untuk mewujudkan satu wadah pembinaan generasi muda Nasional yang kemudian kami namakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Walaupun masih dalam usia muda, namun kami sadari, bahwa segenap idea dan cita yang dilahirkan, dikembangkan dan diperjuangkan oleh pewaris Nusantara yang terdahulu, yang bertekad untuk mewujudkan satu Bangsa Indonesia yang besar dengan satu tata masyarakat yang baru yang damai, adil sejahtera dalam naungan ridho Ilahi. Kami mengemban idea dan cita yang dikembangkan oleh K.H.A Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Kami mendukung dan mengemban pula segenap idea dan cita yang didengungkan pada proklamasi 17 Agustus 1945, pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, bahkan idea dan cita yang diperjuangkan oleh para Pahlawan Nasional yang terdahulu.
Deklarasi Kota Garut, 28 Juli 1967, berisikan hasrat dan tekad kami untuk menjadikan ikatan sebagai aparat pembaharu, satu proses yang selalu dituntut oleh satu bangsa ataupun satu kaum yang selalu menginginkan kemajuan. Demikian pula kami tegaskan dalam deklarasi tersebut, satu identitas kepribadian ikatan yang menuntut setiap pendukung ikatan untuk membekali dan melengkapi dirinya dengan kemantapan aqidah serta dengan kematangan intelektual, sebab kami yakin bahwa tantangan kehidupan masa kini dan mendatang hanya akan bisa dijawab oleh pribadi-pribadi yang matang, dewasa dalam keharmonisan serta perpaduan antara aqidah dan intelektualitas.
Di tengah-tengah kepanikan umat dewasa ini akibat krisis kependudukan, moneter, pangan sumber-sumber alam yang tak tergantikan serta lingkungan hidup, maka kami berpendapat bahwa sebenarnya dibalik segala krisis yang disadari atau tidak, diakui atau tidak justru merupakan krisis utama, yakni krisis kemanusiaan. Tanpa diakuinya krisis kemanusiaan ini, maka krisis-krisis tersebut di depan tadi akan merupakan lingkaran setan tanpa akhir. Krisis kemanusiaan ini timbul akibat modernisasi tanpa arah ataupun sebagai akibat dipaksakannya suatu sistem hidup yang kurang memperhatikan faktor waktu, tempat dan kemampuan, dengan hanya mementingkan tujuan-tujuan jangka pendek. Krisis ini mulai timbul akibat cara berpikir yang terlalu rational dan mekanis sebagai bagian dari suatu program hidup yang pragmatis, materialistis, dimana manusia menjadi semakin kehilangan cakrawala hidup dan idealismenya. Oleh karena itu ikatan menyadari bahwa disamping tugas dan kewajiban kita untuk memberikan sumbangan dalam wujud sarana-sarana fisik di dalam pembangunan bangsa, maka kaum muslimin Indonesia mempunyai kewajiban pula untuk memberikan sumbangan dalam bentuk pembinaan manusia-manusia Indonesia baru yang tidak saja berilmu dan berkemampuan ketrampilan tapi juga memiliki sikap/sistem nilai budaya yang insani yang akan mampu memberikan arah, struktur dan percepatan yang proporsional dalam pembangunan.
Dalam usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur material dan spiritual berdasarkan Undang-undang 45 dan Pancasila, ikatan beranggapan bahwa asas kekeluargaan dalam demokrasi Pancasila seyogianya tidak diartikan sebagai suatu status hierarkis administrasi pemerintahan, melainkan sebagai suatu bentuk persaudaraan yang universal yang bernilai filosofis. Kaum muslimin Indonesia mempunyai tanggungjawab moral untuk memberikan sumbangan yang berwujud satu perangklat sistem nilai yang tangguh yang kita gali dari khasanah system iman dan islam bagi dasar filasafat persaudaraan universal yang tersebut di atas.
Proses perubahan social adalah suatu proses yang selalu terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia itu. Proses ini dapat terjadi secara alami namun dapat pula pada suatu waktu dan tempat, didorongkan atau dilaksanakan baik dalam arah, struktur maupun faktor percepatannya. Diperlukan suatu kemampuan, keuletan serta seni untuk dapat membawakan diri dalam segala macam bentuk perubahan tersebut di atas agar peran dan fungsi ikatan sebagai aparat Islamiah dan amar mahasiswa’ruf nahi mungkar tidak berhenti karenanya. Dalam keadaan semacam itu jangan sampai ikatan kita kehilangan motivasi, arah serta gairah maupun dinamika hidup perjuangannya. Kami generasi awal yang telah mengantar kelahiran dan perjalanan hidup ikatan sampai hari ini dan kami generasi penerus yang kini memegang pimpinan kembali ikatan senantiasa bertekad untuk mengemban amanah perjuangan ini demi kelangsungan peran dan fungsi ikatan dalam masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Deklarasi Kota Malang: Manifesto Kader Progresif
IMM di usia yang hampir 40 tahun (usia nubuwwah) harus tampil digarda terdepan dalam perjuangan umat khususnya kalangan mahasiswa dan bertekad mewujudkan satu bangsa Indonesia yang besar dalam suatu tata masyarakat baru yang damai, adil, sejahtera dalam naungan ridha ilahi.
Deklarasi Kota Malang, 31 Maret 2002 adalah hasrat untuk melahirkan kesadaran kolektif kader IMM dan kebulatan tekad kami untuk menjadikan IMM sebagai aparat pembaharu yang progresif, suatu yang niscaya untuk transformasi sosial menuju masyarakat berperadaban. Demikian pula kami tegaskan identitas kepribadian ikatan sebagai individu yang memiliki kemantapan aqidah dan kematangan intelektual dan progresifitas aksi, sebab tantangan perjuangan kini dan mendatang hanya bisa dijawab oleh postur kader progresif (mantap aqidah, matang intelektual, progresif dalam aksi).
Di tengah krisis multidimensi, IMM bertekad memantapkan peran dan posisi sebagai pelopor gerakan kaum muda. Sebagai gerakan kritik vertikal dan pemberdayaan dan pencerahan horisontal. Dengan membangun kepeloporan dan mendemonstrasikan kekhasan inteletual gerakan IMM.
Untuk mewujudkan Baldatun Tayyibah Warabbun Gafur, maka kaum muslimin Indonesia memiliki tanggung jawab khususnya Muhammadiyah lebih khusus lagi IMM untuk memberikan kontribusi berwujud satu perangkat sistem nilai yang tangguh yang digali darai khasanah system iman dan Islam bagi dasar filsafat persaudaraan Universal.
Sumpah kader pelopor-progresif:Kader pelopor-progresif IMM mengikrarkan: Mengaku berbangsa satu ; bangsa yang mencita-citakan keadilan; Mengaku berbahasa satu ; bahasa kebenaran; Mengaku bertanah air satu ; Tanah air tanpa penindasan.
Perubahan sebagai suatu yang niscaya dalam sehjarah umat manusia. Menuntut kadaer IMM tidak terlahir sebagai generasi kerdil ditengah kebesaran Zaman. Diperlukan suatu kemampuan, keuletan dan integritas untuk membawakan diri tampil elegan dan tidak terbawa arus. Bahkan menjadi pelopor perubahan menuju keadilan dengan tetap menegaskan peran dan fungsi ikatan sebagai aparat dakwah Islamiyyah dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Kami generasi IMM telah mengantarkan sebagian dari sejarahnya dan hari ini senantiasa bertekad memanifestokan Kader pelopor untuk perjuanga umat menuju kecermelangan Isalam. Mari bergerak bersama. Progresif jangan terhenti pada jargon dan retorika. Demi kelangsungan peran dan fungsi Ikatan dalam masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Manifesto Politik 40 Tahun IMM
Dalam perspektif gerakan, IMM tetap mengedepankan aspek moral dan memperjuangkan politik nilai yang berbasis pada penguatan intelektualitas,
Dalam usia kenabian, IMM harus dapat melepaskan diri dari ikatan ikatan primordialisme gerakan dan harus melebur dengan kekuatan pro demokrasi, pro rakyat untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat dan berkeadilan.
IMM secara Institusional mempunyai kewajiban untuk turut serta mendukung seluruh proses demokrasi termasuk memberikan penguatan kepada sang reformis untuk memimpin bangsa, dll. Sikap tersebut adalah lembaran baru perjuangan IMM ditengah nasib bangsa sedang menghadapi problematika yang cukup serius. Tindak lanjut dari sikap ke 3 khususnya, DPP IMM telah menjadi salah satu kekuatan penyangga dari MPR (masyakarat perduli reformasi) sebagai alat perjuangan, walaupun pada akhirnya cita cita tersebut masih belum berhasil, namun apa yang sudah diperjuangkan IMM melalui MPR tidak akan pernah sia sia.
Deklarasi Kota Medan
Mengembalikan spirit kepemimpinan IMM sesuai dengan Khittah Kepemimpinan Muhammadiyah.
Menegaskan orientasi perkaderan IMM pada pembentukan akademisi Islam yang berakhlak mulia.
Orientasi gerakan IMM diarahkan pada penyelesaian problematika kebangsaan dan kemanusiaan universal.
Deklarasi Setengah Abad IMM
IMM adalah lembaga pengkaderan Islam yang berlandaskan ideologi Muhammadiyah.
Pengkaderan IMM berbasis pada penguatan kapasitas individu dan gerakan komunal yang bertumpu pada kearifan lokal.
Pengkaderan ikatan selalu menanamkan nilai-nilai moralitas profetik dan multikultural dalam rangka membumikan gerakan dakwah Islam.
IMM independen terhadap politik praktis.
Membumikan gerakan cinta masjid sebagai basis gerakan IMM.
Orientasi gerakan IMM diarahkan pada penyelesaian problematika kebangsaan pada kemanusiaan universal.
Moh. Djazman Al Kindi (salah satu pendiri IMM, Pemrakarsa berdirinya UMS)
Ahmad Rosyad Saleh (Ulama, Tokoh Muhammadiyah)
Sudibyo Markus (dokter, Tokoh Internasional)
Elida Djazman (Tokoh Perempuan Muhammadiyah
Sutrisno Muhdam (Mantan ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Ketua Yayasan RSI Jakarta Milik Muhammadiyah, pernah menjabat Ketua BPH UHAMKA)
Ahmad Mansur Suryanegara (Penulis, Guru Besar Sejarah Universitas Padjajaran Bandung, Tokoh Muhammadiyah)
Amin Rais (Tokoh Reformasi)
Abdul Hadi WM (Budayawan Senior, menulis beberapa karya sastra)
Yahya A. Muhaimin (pernah menjabat Menteri Pendidikan)
Fatah Wibisono (Ulama, Tokoh Muhammadiyah)
Din Syamsudin (Tokoh Ulama Internasional)
Yunahar Ilyas (Ulama, Tokoh Muhammadiyah)
A. Dahlan Rais (Tokoh Muhammadiyah)
Bambang Sudibyo (Pernah Menjadi Menteri Keuangan, Menteri pendidikan, serta anggota majelis Dikti PP Muhammadiyah)
Anwar Abbas (Ulama, Tokoh Muhammadiyah)
Abdul Mu'thi (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Sektretaris Umum PP Muhammadiyah) Direktur Eksekutif Centre for Dialog and Cooperation Among Civilization/ CDCC)
Marzuki Usman (Pernah menjabat Menteri Investasi/ Kepala BKPM, Menteri Kehutanan, Anggota Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah/ 1999.
Suwito (Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Yunan Yusuf (Guru Besar Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Penulis buku Tafsir Juz Tabarak Khuluqun 'Azhim)
Johni Najwan (Ketua DPD Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia/ SOKSI, Ketua III DPD KNPI Jambi, Dewan pertimbangan KORNAS FOKAL IMM)
Suyatno (Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. dr. Hamka/ UHAMKA)
Bambang Marsono (Penasehat KORNAS FOKAL IMM, Anggota Henly Society di England, Ketua UK Graduates Association, Pendiri Yayasan Obor kebajikan, Penasehat Indonesian Association of The Britis Alumni/ IABA)
Musafir Pababbari (Seorang Visiting Profesor, Pernah menjadi Ketua lembaga seni dan Budaya PWM Sulawesi Selatan)
HM Sirri Dangga (Guru Besar Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Rektor Universitas Muhammadiyah Parepare)
Ambo Asse (Ulama, Guru Besar UIN Alauddin Makasar, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan)
WR Hendra Saputra (Guru Besar di UHAMKA)
Muadzar Habibie (Pemilik Taman Pendidikan lentera Hati, Aktivis kemasyarakatan)
Idris Khalid Amir (Guru Besar Universitas Siliwangi Rumpun Bekasi, Rektor Universitas Institute Of Prefesional Management)
Irwan Akib (Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar selama 3 periode)
Qomari Anwar (Pernah menjadi Rektor UHAMKA, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DDKI Jakarta, wakil Ketua Majelis Dikdasmen PImpinan Pusat/ PP Muhammadiyah)
Gagaring Pagulung (ekonom)
Idrus Andi Paturrusi (Dokter Spesialis Bedah, Pernah Menjadi rektor Universitas Hasanuddin Makassar)
Budu (Guru Besar Ilmu Kesehatan Mata fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar)
Juliyatmono
Saleh Partaonan Daulay
Pradana Boy ZTF (Intelektual, Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
Ahmad Rofiq (Tokoh Muda Muhammadiyah)
Ton Abdillah Has
Khotimun Susanti
Agus Purwanto (Ulama Muda Muhammadiyah, Penggagas Trensain, Penulis Buku Ayat-Ayat Semesta)
Ahmad Najib Burhani (Intelektual Muda Muhammadiyah, Peneliti Senior LIPI)
Piet Hizbullah Khaidir (Ulama dan Intelektual Muda Muhammadiyah)
Andar Nubuwo (Tokoh Muda Muhammadiyah, Ketua Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah/ LAZISMU)
Muarif (Sejarawan)
Beni Pramula (Tokoh Muda Muhammadiyah, Ketua KOMANDO)
David Krisna Alka (Penulis Nasional dan Peneliti)
Dahnil Anzhar Simanjuntak (Tokoh Muda Muhammadiyah, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah)
Ahmad Harakan (Akademisi, Editor in Chief Jurnal Internasional)